Krisis Generasi Petani, Sebuah Ancaman Bagi Ketahanan Pangan di Negeri Ini

  • Bagikan
Krisis Generasi Petani, Sebuah Ancaman Bagi Ketahanan Pangan di Negeri Ini
Ahmad Sa'ie. (Dok. Pribadi)

Oleh: Ahmad Sa’ie *)

Musim hujan kini telah tiba. Masyarakat Madura pada umumnya dan warga Sumenep pada khususnya mulai berbondong-bondong untuk bersiap bercocok tanam. Berhubung masyarakat Madura pertaniaannya masih tergantung pada iklim yang ada, termasuk menyangkut persoalan pengairannya.

Namun, yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak, termasuk pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah mengenai generasi petani yang terus mengalami kemerosotan. Bahkan bisa dibilang mulai ‘krisis generasi petani’ dan nampaknya persoalan ini belum dijadikan bahan pemikiran yang ‘urgen’.  Padahal generasi petani sebagai tongkat estafet serta ujung tombak untuk melakukan aktivitas produktivitas pertanian di daerahnya masing-masing. Apalagi belakangan Presiden Jokowi sangat getol untuk mengatasi persoalan ancaman krisis pangan yang saat ini mulai melanda di sejumlah negara di belahan dunia ini.

Kabupaten Sumenep yang secara geografis terbagi wilayah daratan dan kepulauan, masyarakatnya didominasi dari kalangan petani. Namun sayangnya dominasi populasi pertanian itu tidak diimbangi dengan SDM yang memadai. Sehingga banyak lahan produktif yang dibiarkan tak tergarap.

Dikutip dari www.sumenepkab.go.id, Data Statistik Sektoral Kabupaten Sumenep 2022 menyebutkan, sejak tahun 2017-2021 jumlah petani sekitar 34 ribu orang lebih. Jumlah itu tidak berbanding lurus dengan jumlah total penduduk Kabupaten Sumenep sekitar satu juta lebih. Itu artinya generasi petani sebagai penjaga gawang negeri ini terus mengalami penyusutan. Bisa dibayangkan bila nantinya di sektor pertanian tidak jalan lantaran tidak ada SDM-nya. Entah mau makan apa?

Penulis juga merasakan hal demikian, berhubung sebagai anak petani dan hidup di pelosok desa. Setiap hari menyaksikan langsung bagaimana petani beraktivitas mengolah lahan pertaniaannya.

Saat ini petani yang aktif rata-rata usianya 45 tahun ke atas, dengan tingkat pendidikannya terbilang minim, paling dominan lulusan SD dan SMP sederajat. Sementara dalam proses pertaniannya masih tradisional melanjutkan dari para pendahulunya. Meskipun sebagian alat pertaniannya ada perkembangan menggunakan tenaga mesin. Seperti alat bajak sawah, pompa air, serta penunjang kebutuhan pertanian lainnya, seperti pemupukan, pembibitan dan pengobatan tanaman pertanian.

Namun, meski dibantu alat modern tapi generasinya tidak jalan, maka akan sia-sia. Sebab, mayoritas anak petani saat ini mulai terkoptasi dengan perkembangan modernitas yang cendrung enggan untuk bertani. Mereka lebih memilih profesi lain, baik jadi pejabat kantoran maupun jadi buruh. Karena pola pikir yang dibangun instan dan kongkret dibanding jadi petani. Padahal kalau pertanian dikelola dengan managerial yang baik ditopang ilmu pengetahuan yang mumpuni justru lebih menguntungkan ketimbang jadi buruh dan profesi lainnya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *